-->

Jawaban Santri NU Atas Dalil Tentang Bid'ah

 

Dalil sebagai kaidah yang mengatakan bahwa semua bid’ah adalah kesesatan, mengacu kepada dalil yang diriwayatkan sahabat Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, sebagai berikut:
Dari Jabir bin Abdillah berkata : Jika Rasulullah berkhutbah maka merahlah kedua mata beliau dan suara beliau tinggi serta keras kemarahan (emosi) beliau, seakan-akan beliau sedang memperingatkan pasukan perang seraya berkata “Waspadalah terhadap musuh yang akan menyerang kalian di pagi hari, waspadalah kalian terhadap musuh yang akan menyerang kalian di sore hari !!”. Beliau berkata, “Aku telah diutus dan antara aku dan hari kiamat seperti dua jari jemari ini –Nabi menggandengkan antara dua jari beliau yaitu jari telunjuk dan jari tengah-, dan beliau berkata : “Kemudian dari pada itu, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Al-Qur’an dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara yang baru dan semua bid’ah adalah kesesatan” (HR Muslim no 2042)

Dalam riwayat An-Nasaai ada tambahan:

“Dan semua perkara yang baru adalah bid’ah dan seluruh bid’ah adalah kesesatan dan seluruh kesesatan di neraka” (HR AnNasaai no 1578).


Kaidah ini juga merupakan penggalan dari wasiat Nabi yang telah mengalirkan air mata para sahabat radhiallahu ‘anhum, sebagaimana diriwayatkan oleh sahabat ‘Irbaadh bin Sariyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :


“Sesungguhnya barangsiapa yang hidup setelahku maka dia akan melihat banyak perselisihan, maka wajib bagi kalian untuk mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafaaur rosyidin yang mendapat petunjuk setelahku, berpegang teguhlah dengan sunnah sunnah tersebut, dan gigitlah ia dengan geraham kalian. Dan hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara baru, karena semua perkara baru adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah
kesesatan” (HR Abu Dawud no 4069)


Selain dua hadits di atas ada hadits lain yang juga mendukung bahwa semua bid'ah adalah kesesatan, yaitu sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :


“Sesungguhnya bagi setiap amalan ada semangat dan ada futur (tidak semangat), maka barangsiapa yang futurnya ke bid’ah maka dia telah sesat, dan barangsiapa yang futurnya ke sunnah maka dia telah mendapatkan petunjuk” (HR Ahmad 38/457 no 23474 dengan sanad yang shahih). Dalam hadits ini jelas Nabi menjadikan sunnah sebagai lawan bid’ah dan menggandengkan bid’ah dengan kesesatan. Demikian juga sebuah atsar dari Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu dimana beliau pernah berkata:



“Hampir saja ada seseorang yang berkata : Kenapa orang-orang tidak mengikuti aku, padahal aku telah membaca Al-Qur’an, mereka tidaklah mengikutiku hingga aku membuat bid’ah untuk mereka. Maka waspadalah kalian terhadap bid’ah karena setiap bid’ah adalah kesesatan.” (Riwayat Abu Dawud no 4613, AlBaihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro 10/210 no 21444, Abdurrozaq dalam mushonnafnya 11/363 no 20750 dengan sanad yang shahih)


Dalam atsar ini Mu’adz bin Jabal mensifati bid’ah dengan dolalah (kesesatan). Hadits dan atsar ini semakin menguatkan kaidah umum yang telah dilafalkan oleh Nabi “Semua bid’ah adalah kesesatan”. Ibnu Rojab Al-Hanbali berkata :



“Maka sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Semua bid’ah adalah kesesatan” termasuk dari jawaami’ul kalim (kalimat yang singkat namun mengandung makna yang luas-pen), tidak ada satupun yang keluar darinya (yaitu dari keumumannya-pen), dan ia merupakan pokok yang agung dari ushuul Ad-Diin... maka setiap orang yang mengadakan perkara yang baru dan menyandarkannya kepada agama padahal tidak ada pokok agama yang dijadikan sandaran maka ia adalah sesat, dan agama berlepas darinya. Dan sama saja apakah dalam permasalahan keyakinan atau amal ibadah baik yang dzohir maupun yang batin”
(Jaami’ul uluum wal hikam hal 252)

Ibnu Hajar Al-Haitami berkata:


“Bahwasanya bid’ah syar’iyah pasti sesat berbeda dengan bid’ah secara bahasa” (Al-Fataawa Al-Hadiitsiyah hal 206)
Sumber:https://firanda.com/index.php/artikel/manhaj/92-semuabidah-adalah-kesesatan

Santri NU Menjawab :


Dalil yang selalu digunakan atas tuduhan Bid'ah adalah :


"Setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu masuk neraka”.

Dengan membandingkan hadist tersebut dengan QS Al Kahfi: 79 yangsama2 dihukumkan ke kullu majmu’ akan kita dapati sebagai berikut:

Bid’ah itu kata benda, tentu mempunyai sifat, tidak mungkin ia tidak mempunyai sifat, mungkin saja ia bersifat baik atau mungkin bersifat jelek. Sifat tersebut tidak ditulis dan tidak disebutkan dalam hadits di atas; dalam Ilmu Balaghah dikatakan,


“Membuang sifat dari benda yang bersifat”.


Seandainya kita tulis sifat bid’ah maka terjadi dua kemungkinan:


Kemungkinan yang pertama :

“Semua bid’ah (yang baik) sesat, dan semua yang sesat masuk neraka”.

Hal ini tidak mungkin, bagaimana sifat baik dan sesat berkumpul dalam satu benda dan dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu mustahil.

Kemungkinan yang ke dua :

“Semua bid’ah (yang jelek) itu sesat, dan semua kesesatan itu masuk neraka”.

Jelek dan sesat sejalan tidak bertentangan, hal ini terjadi pula dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membuang sifat kapal dalam firman-Nya:


“Di belakang mereka ada raja yang akan merampas semua kapal dengan paksa”. (Al-Kahfi: 79).

Dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyebutkan kapal yang baik adalah KAPAL JELEK; karena yang jelek tidak mungkin diambil oleh raja.


“Kullu muhdatsin bid’ah, wa kullu bid’atin dholalah, wa kullu dholalatin fin naar”

Dalam hadits tersebut rancu sekali kalau kita maknai SETIAP bid’ah dengan makna KESELURUHAN, bukan SEBAGIAN. Untuk membuktikan adanya dua macam makna ‘kullu’ ini, dalam kitab mantiq ‘Sullamul Munauruq’ oleh Imam Al-Akhdhori yang telah diberi syarah oleh Syeikh Ahmad al-Malawi dan diberi Hasyiah oleh Syeikh Muhamad bin Ali as-Shobban tertulis:

“Kullu itu kita hukumkan untuk majmu’ (sebagian atau sekelompok) seperti ‘Sebagian itu tidak pernah terjadi’. Dan jika kita hukumkan untuk tiap2 satuan, maka dia adalah kulliyyah (jami’ atau keseluruhan) yang sudah dimaklumi.”

Mari perhatikan dengan seksama & cermat kalimat hadits tersebut. Jika memang maksud Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah SELURUH kenapa beliau BERPUTAR-PUTAR dalam haditsnya?

Kenapa Rosululloh tidak langsung saja


yang akhir, yakni “kullu dholalatin fin naar” bahwa yang SESAT itulah yang masuk NERAKA ? Selanjutnya, Kalimat bid’ah di sini adalah bentuk ISIM (kata benda) bukan FI’IL (kata kerja). Dalam ilmu nahwu menurut kategorinya Isim terbagi 2 yakni Isim Ma’rifat (tertentu) dan Isim Nakirah (umum).
Nah….. kata BID’AH ini bukanlah
1. Isim dhomir
2. Isim alam
3. Isim isyaroh
4. Isim maushul
5. Ber alif lam yang merupakan bagian dari isim ma’rifat.

Jadi kalimat bid’ah di sini adalah isim nakiroh Dan KULLU di sana berarti tidak beridhofah (bersandar) kepada salah satu dari yang 5 diatas.

Seandainya KULLU beridhofah kepada salah 1 yang 5 diatas, maka ia akan menjadi ma’rifat. Tapi pada ‘KULLU BID’AH’, ia beridhofah kepada nakiroh. Sehingga dalalah -nya adalah bersifat ‘am (umum). Sedangkan setiap hal yang bersifat umum pastilah menerima
pengecualian. Ini sesuai dengan pendapat imam Nawawi ra.

“Sabda Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam, “semua bid’ah adalah sesat”, ini adalah kata2 umum yang dibatasi jangkauannya. Maksud “semua bid’ah itu sesat”, adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (Syarh Shahih Muslim, 6/154).

Lalu apakah SAH di atas itu dikatakan MUBTADA’ (awal kalimat)? Padahal dalam kitab Alfiyah (salah satu kitab rujukan ilmu nahwu), tertulis :

“Tidak boleh mubtada’ itu dengan nakiroh.”

KECUALI ada beberapa syarat, di antaranya adalah dengan sifat. Andai pun mau dipaksakan untuk men-sah-kan mubtada’ dengan ma’rifah agar tidak bersifat UMUM pada ‘kullu bid’atin di atas, maka ada sifat yang dibuang. (dilihat DARI SISI BALAGHAH).


NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post