-->

Kitab-Kitab Yang Membahas Tentang Bid'ah

 


KITAB-KITAB YANG MEMBAHAS KHUSUS BID’AH

Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi AsySyathibi Al-Gharnathi :

Imam Syafi’i membagi perkara baru menjadi dua:
  1. Perkara baru yang bertentangan dengan Al-Kitab & As-Sunnah atau atsar sahabat & ijma’. Ini   adalah bidah dholalah.
  2. Perkara baru yang baik tetapi tidak bertentangan dengan AlKitab dan As-Sunnah atau atsar sahabat & ijma’. Ini adalah bidah yang tidak tercela. Inilah yang dimaksud dengan perkataan Imam Syafi’i yang membagi bid’ah menjadi dua, yaitu bid’ah mahmudah terpuji & bid’ah mazmumah tercela/buruk. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah adalah terpuji & baik, sedangkan yang bertentangan dengan sunnah ialah tercela & buruk”.
Hilyah al-Auliya’, 9/113, & Al-Ba’its ‘ala Inkar Al-Bida’, hal. 15. Ini kelengkapan kalimatnya:


Batasan Arti Bid’ah
Dalam pembatasan arti bid’ah juga terdapat pengertian lain jika dilihat lebih saksama. Yaitu: bid’ah sesuai dengan pengertian yang telah diberikan padanya, bahwa ia adalah tata cara di dalam agama yang baru diciptakan (dibuat-buat) & seterusnya. Termasuk dalam keumuman lafazhnya adalah bid’ah tarkiyyah (meninggalkan perintah agama), demikian halnya dengan bid’ah yang bukan tarkiyyah. Hal2 yang dianggap bid’ah terkadang ditinggalkan karena hukum asalnya adalah haram. Namun terkadang hukum asalnya adalah halal, tetapi karena dianggap bid’ah maka ia ditinggalkan. Suatu perbuatan misalnya menjadi halal karena ketentuan syar’i, namun ada juga manusia yang mengharamkannya atas dirinya karena ada tujuan tertentu, atau sengaja ingin meninggalkannya.

Meninggalkan suatu hukum; mungkin karena perkara tersebut dianggap telah disyariatkan seperti sebelumnya, karena jika perkaranya telah disyariatkan, maka tidak ada halangan dalam hal tersebut, sebab itu sama halnya dengan meninggalkan perkara yang dibolehkan untuk ditinggalkan atau sesuatu yang diperintahkan untuk ditinggalkan. Jadi di sini tidak ada penghalang untuk meninggalkannya. Namun jika beralasan untuk tujuan pengobatan bagi orang sakit, maka meninggalkan perbuatan hukumnya wajib. Namun jika kita hanya beralasan untuk pengobatan, maka meninggalkannya hukumnya mubah. (Kitab Al-‘Itisham, I/42])

ITQON ASH-SHUN’AH FI TAHQIQ MA’NA AL-BID’AH

Sayyid Al-‘Allamah Abdullah bin Shodiq Al-Ghumari Al-Husaini.
Imam Nawawi berkata: Sabda Nabi Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa sallam “Setiap bid’ah itu sesat” ini adalah umum yang dikhususkan & maksudnya pengertian secara umum. Ahli bahasa mengatakan: Bid’ah yaitu segala sesuatu amal perbuatan yang tidak ada contoh sebelumnya. Ulama mengatakan bahwa bid’ah terbagi menjadi lima macam yaitu wajib, sunah, haram, makruh dan mubah.

Dalam hadits Uryadh bin Sariyah tentang sabda Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Takutlah kamu akan perkara2 baru, maka setiap bid’ah adalah sesat. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)

Al-Hafizh Ibnu Rojab berkata dalam penjelasannya: Yang dimaksud bid’ah adalah sesuatu yang baru yang tidak ada asalnya [contohnya] dalam syari’at yang menunjukkan atasnya. Adapun sesuatu yang ada asalnya dalam syari’at yang menunjukkan atasnya, maka bukan termasuk bid’ah menurut syara’ meski secara bahasa itu adalah bid’ah.

Dalam shohih Bukhori dari Ibnu Mas’ud berkata. Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah kitabulloh Al-Qur’an & sebaik2 petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa
sallam & sejelek2nya perkara adalah yang baru dalam agama. 

Lafadz muhdatsat dengan di fathah huruf dal-nya” kata jama’ plural dari Muhdatsah, maksudnya sesuatu yang baru yang tidak ada asal dasarnya dalam syari’at dan diketahui dalam hukum agama sebagai bid’ah.

Dan sesuatu yang memiliki asal landasan yang menunjukkan atasnya maka tidak termasuk bid’ah. Bid’ah sesuai pemahaman syar’i itu tercela sebab berlawanan dengan pemahaman secara bahasa. Maka jika ada perkara baru yang tidak ada contohnya dinamakan bid’ah, baik bid’ah yang mahmudah maupun yang madzmumah.

Diriwayatkan Abu Na’im dari Ibrahim bin Al-Janid berkata: Aku mendengar Imam Syafi’i berkata: “Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah mahmudah & bid’ah madzmumah. Maka perkara baru yang sesuai sunnah, maka itu bid’ah terpuji. Dan perkara baru yang berlawanan dengan sunnah itu…bid’ah..tercela.”

Al-Baihaqi meriwayatkan dalam Manaqib Syafi’i biografi Syafi’i…. Imam Syafi’i berkata: Perkara baru itu ada dua macam, yaitu perkara baru yang bertentangan dengan Al-Kitab dan AsSunnah atau atsar sahabat & ijma’. Ini adalah bidah dholalah.

Perkara baru yang baik tetapi tidak bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah atau atsar Sahabat & ijma’. Ini adalah bidah yang tidak tercela. Dan Umar bin Khathab ra. berkata tentang qiyamu Romadhon sholat tarawih. Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Yakni sholat tarawih adalah perkara baru yang tidak ada sebelumnya, & ketika ada itu bukan berarti menolak apa yang sudah berlalu.

Dan yang dimaksud dengan sabda Rosul, Setiap bid’ah adalah sesat,” adalah sesuatu yang baru dalam agama yang tidak ada dalil syar’i [al-Qur’an dan al-Hadits secara khusus maupun secara umum. 

Dalam At-Tahdzib Al-Asma’ wa Al-Lughot bahwa kalimat “AlBid’ah” itu dibaca kasror hurup “ba’-nya” di dalam pemahaman agama yaitu perkara baru yang tidak ada dimasa Nabi Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa sallam & dia terbagi menjadi dua baik & buruk. Setiap sesuatu yang mempunyai dasar dari dalil-dalil syara’ maka bukan termasuk bid’ah, meskipun blm pernah dilakukan oleh salaf. Karena sikap mereka meninggalkan hal tersebut
terkadang karena ada uzur yang terjadi saat itu (belum dibutuhkan) atau karena ada amaliah lain yang lebih utama, & atau hal itu barangkali belum diketahui oleh mereka. 

Kita perhatikan Shaleh Al-Utsaimin yang tidak konsisten dengan ucapannya sbb:

“Sesungguhnya Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rosyidin. Gigitlah sunnah itu dengan geraham kalian (yakni; peganglah jangan sampai terlepas). Dan berhati-hatilah terhadap persoalan yang diada-adakan, maka sesungguhnya setiap perkara baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”

Sholeh Al-Utsaimin dalam Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, hal: 639-640). Al-Utsaimin mengatakan, “Hukum asal dari perbuatan-perbuatan baru dalam urusan dunia adalah HALAL. Jadi bid’ah dalam urusan-urusan dunia itu HALAL, kecuali ada dalil yang menunjukan akan keharamannya. Tetapi hukum asal dari perbuatan-perbuatan baru dalam urusan agama adalah DILARANG, jadi bid’ah dalam urusan-urusan agama adalah HARAM dan BID’AH, kecuali adal dalil dari Al-Qur’an dan AsSunnah yang menunjukkan keberlakuannya.”

Melalui tulisannya yang lain Al-Utsaimin telah melanggar hukum yang dibuatnya sendiri dalam Al-Ibda’ fi Kamal Al-Syar’i wa Khathar Al-Ibtida’, hal 13. Dia mengatakan tentang hadits Nabi, ”(Semua bid’ah adalah sesat) adalah bersifat general, umum, menyeluruh (tanpa terkecuali) dan dipagari dengan kata yang menunjuk pada arti menyeluruh dan umum yang paling kuat yaitu kata-kata “kull (seluruh)”. Apakah setelah ketetapan menyeluruh ini kita dibenarkan membagi bid’ah menjadi tiga bagian, atau menjadi lima bagian? Selamanya ini tidak akan pernah benar.”

Dalam pernyataannya diatas Al-Utsaimin menegaskan bahwa “SEMUA BID’AH adalah SESAT”, bersifat general, umum, dan menyeluruh terhadap seluruh bid’ah, tanpa terkecuali, sehingga tidak ada bid’ah yang disebut BID’AH HASANAH. Namun mengapa dalam pernyataannya yang pertama dia membagi bid’ah ada yang HALAL dan yang HARAM? LUCU kan sobat ?!

Berbeda sekali ke’arifan dan kebijakannya dalam menetapkan hukum jika dibandingkan dengan ulama-ulama yang masyhur seperti Imam Nawawi misalnya, dalam memahami hadits Nabi “SEMUA BID’AH ADALAH SESAT”, dalam Syarah Shahih Muslim, jilid 6 hal: 154, beliau sangat hati-hati dengan kata-kata “SEBAGIAN BID’AH ITU SESAT, BUKAN SELURUHNYA.” Hadits “KULLU BIDH’ATIN DHOLALAH”, ini adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Maka para ulama membagi bid’ah menjadi dua, BID’AH HASANAH (baik) dan BID’AH SYAIYI’AH (buruk).

KESIMPULAN
Sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam Syafii, Al Izz bin Abdis Salam, Imam Nawawi dan Ibnu Atsir ra dan para ulama lainnya bahwa bidah/masalah baru yang diadakan ini bila tidak menyalahi atau menyimpang dari syariat, maka semua itu adalah mustahab/dibolehkan apalagi dalam hal kebajikan dan sejalan dengan dalil syara’, maka itu adalah bagian dari agama.  

Amal kebajikan dan kebijaksanaan yang dilakukan para sahabat, kaum salaf sepeninggal Rasul saw itu diteliti oleh para ulama dan diuji dengan Kitabullah, Sunnah Rasul saw dan kaidah-kaidah hukum syariat. Bila setelah diuji ternyata baik maka prakarsa tersebut dinilai baik dan dapat diterima. Sebaliknya, bila setelah diuji ternyata buruk, maka hal tersebut dinilai buruk dan dipandang sebagai bid’ah tercela.

Masalah yang telah dinilai baik dan dapat diterima ini disebut bid’ah hasanah. Karena sesuatu yang diperbuat atau dikerjakan oleh sahabat bukan atas perintah Allah dan RasulNya itu bisa disebut bid’ah tapi sebagai bid’ah hasanah. Ini dalam pandangan hukum syariat bukan “bid’ah” melainkan “sunnah mustanbathah” yakni sunnah yang ditetapkan berdasarkan “istinbath atau hasil ijtihad”. 

Juga ditulis oleh Mufti Mekkah As Sayyid Muhammad bin Alawiy Al Maliki Al Hasani pada sebuah makalahnya yang berjudul. “Sekitar peringatan Maulid Nabi yang Mulia (Haulal ihtifal bil Mauliddin Nabawiyyisy Syarif) adalah sbb: 

Apa yang dikatakan oleh orang fanatik/extreem bahwa apa yang tidak pernah dilakukan oleh kaum salaf, tidaklah mempunyai dalil bahkan tiada dalil sama sekali bagi hal itu. Ini bisa kita jawab bahwa tiap orang yang mendalami ilmu Ushulud-din mengetahui bahwa Asy-Syari’ (Rasulallah saw) menamai bid’ahtul hadyi (bid’ah dalam menentukan petunjuk pada kebenaran Allah & RasulNya) sunnah, dan menjanjikan pahala bagi pelakunya. Wallahu a’lam.




NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post